Hari ini
saya akan membahas tentang tokoh perjuangan di Indonesia, namun saya khususkan
pada tokoh yang berjuang di daerah Banjar(perang Banjar). Berikut beberapa
tokoh yang berperan dalam perang Banjar :
· Pangeran Antasari
Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1797 atau 1809 – meninggal di Bayan Begok, Hindia-Belanda, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Ia adalah Sultan Banjar. Pada 14 Maret 1862, beliau dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.
Semasa muda nama beliau adalah Gusti Inu Kartapati. Ibu Pangeran Antasari adalah Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman. Ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Amir. Pangeran Amir adalah anak Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang gagal naik tahta pada tahun 1785. Ia diusir oleh walinya sendiri, Pangeran Nata, yang dengan dukungan Belanda memaklumkan dirinya sebagai Sultan Tahmidullah II. Pangeran Antasari memiliki 3 putera dan 8 puteri. Pangeran Antasari mempunyai adik perempuan yang bernama Ratu Antasari alias Ratu Sultan Abdul Rahman yang menikah dengan Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam tetapi meninggal lebih dulu setelah melahirkan calon pewaris kesultanan Banjar yang diberi nama Rakhmatillah, yang juga meninggal semasa masih bayi.
Pangeran Antasari tidak hanya dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar, beliau juga merupakan pemimpin Suku Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai dan beberapa suku lainya yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito.
“....dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)...”
Setelah Sultan Hidayatullah ditipu belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti (Ibunda Pangeran Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke Cianjur, maka perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan pula oleh Pangeran Antasari. Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Banjar bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan:
“
|
Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah!
|
”
|
Seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan
Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi
"Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin", yaitu pemimpin
pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama tertinggi.
Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti berjuang, ia
harus menerima kedudukan yang dipercayakan oleh Pangeran Hidayatullah kepadanya
dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada
Allah dan rakyat.
Perang Banjar
pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara
milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April
1859. Selanjutnya
peperangan demi peperangan dipkomandoi Pangeran antasari di seluruh wilayah
Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia,
Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang
sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin
dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda
yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya
berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan
pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh. Berkali-kali Belanda membujuk
Pangeran Antasari untuk menyerah, namun beliau tetap pada pendirinnya. Ini
tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan
Kolonel Gustave Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20
Juli 1861.
Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat
di tengah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu
oleh bujuk rayu Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan
Begok, Sampirang, dalam usia
lebih kurang 75 tahun. Menjelang wafatnya, beliau terkena sakit paru-paru dan
cacar yang dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit
Bagantung, Tundakan. Perjuangannya dilanjutkan oleh
puteranya yang bernama Muhammad Seman.
Setelah terkubur selama lebih kurang 91 tahun di daerah hulu sungai Barito,
atas keinginan rakyat Banjar dan persetujuan keluarga, pada tanggal 11 November
1958 dilakukan pengangkatan kerangka Pangeran Antasari. Yang masih utuh adalah
tulang tengkorak, tempurung lutut dan beberapa helai rambut. Kemudian kerangka
ini dimakamkan kembali Taman Makam Perang Banjar,
Kelurahan Surgi Mufti, Banjarmasin.
Pangeran Antasari telah dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dan
Kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK No. 06/TK/1968 di
Jakarta, tertanggal 27 Maret 1968. Nama Antasari diabadikan pada Korem 101/Antasari dan
julukan untuk Kalimantan Selatan yaitu Bumi Antasari. Kemudian untuk lebih
mengenalkan P. Antasari kepada masyarakat nasional, Pemerintah melalui Bank
Indonesia (BI) telah mencetak dan mengabadikan nama dan gambar Pangeran
Antasari dalam uang kertas nominal Rp 2.000.
· Demang Lehman
Demang Lehman, kemudian bergelar Kiai Adipati Mangku Negara (lahir di Martapura
tahun 1832
- meninggal di Martapura tanggal 27 Februari
1864 pada umur 32 tahun)
adalah salah seorang panglima perang dalam Perang Banjar.
Beliau terlahir dengan nama Idis. Gelar Kiai Demang merupakan
gelar untuk pejabat yang memegang sebuah lalawangan (distrik) di Kesultanan
Banjar. Demang Lehman semula merupakan seorang panakawan (ajudan) dari Pangeran Hidayatullah II sejak tahun 1857. Oleh karena
kesetiaan dan kecakapannya dan besarnya jasa sebagai panakawan dari
Pangeran Hidayatullah II, dia diangkat menjadi Kiai sebagai
lalawangan/kepala Distrik Riam Kanan (tanah lungguh Pg.
Hidayatullah II). Demang Lehman memegang pusaka kerajaan Banjar yaitu Keris Singkir
dan sebuah tombak bernama Kalibelah yang berasal dari Sumbawa.
Pada awal tahun 1859
Nyai Ratu Komala Sari,
permaisuri almarhum Sultan Adam, telah menyerahkan surat kepada
Pangeran Hidayatullah II, bahwa kesultanan Banjar diserahkan kepadanya, sesuai
dengan surat wasiat Sultan Adam. Selanjutnya Pangeran Hidayat mengadakan
rapat-rapat untuk menyusun kekuatan dan memberi bantuan kepada Tumenggung
Jalil (Kiai Adipati Anom Dinding Raja) berupa 20 pucuk senapan.
Sementara itu Pangeran Antasari dan Demang Lehman mendapat
tugas yang lebih berat yaitu mengerahkan kekuatan dengan menghubungi Tumenggung Surapati dan Pembakal Sulil di
daerah Barito
(Tanah Dusun),
Kiai Langlang dan Haji Buyasin di daerah Tanah Laut.
akhir tahun 1859
pasukan rakyat yang dipimpin oleh Demang Lehman, Pangeran
Antasari, Tumenggung Antaluddin,
Pambakal Ali Akbar berkumpul di benteng Munggu Dayor. Demang Lehman terlibat
dalam pertempuran sengit di sekitar Munggu Dayor. Belanda menilai tentang
Demang Lehman sebagai musuh yang paling ditakuti dan paling berbahaya dan
menggerakkan kekuatan rakyat sebagai tangan kanan dari Pangeran Hidayat. Demang
Lehman menyerbu Martapura dan melakukan pembunuhan terhadap pimpinan militer
Belanda di kota Martapura.
Pada tanggal 30 Agustus 1859 Demang Lehman
berangkat menuju Keraton Bumi Selamat dengan 3000 kekuatan dan secara tiba-tiba
mengejutkan Belanda karena melakukan serangan secara tiba-tiba, menyebabkan
Belanda kebingungan menghadapinya, hingga hampir menewaskan Letnan Kolonel Boon
Ostade. Dalam serangan tiba-tiba ini Demang Lehman menunggang kuda dengan gagah
berani mengejar Letnan Kolonel Boon Ostade. Serbuan ke Keraton Bumi Selamat ini
gagal karena berhadapan dengan pasukan Belanda yang sedang berkumpul melakukan
inspeksi senjata. Pertempuran sengit terjadi, sehingga anggota Demang Lehman
kehilangan 10 orang yang menjadi korban, begitu pula pihak Belanda
berpuluh-puluh yang jatuh korban.
Sementara itu kapal perang Bone dikirim Belanda ke Tanah Laut untuk merebut
kembali benteng Tabanio yang telah dikuasai Demang Lehman
dalam sebuah pertempuran yang mengerikan Belanda. Ketika pasukan Letnan Laut
Cronental menyerbu benteng Tabanio, 9 orang serdadu Belanda tewas, dan terpaksa
pasukan Belanda sisanya mengundurkan diri dengan menderita kekalahan. Serangan
kedua oleh Belanda dilakukan, tetapi benteng itu dipertahankan dengan gagah
berani oleh Demang Lehman, Kiai Langlang, dan Penghulu Haji Buyasin. Karena
serangan serdadu Belanda didukung oleh angkatan laut yang menembakkan meriam
dari kapal perang, sedangkan pasukan darat menyerbu benteng Tabanio, Demang
Lehman berserta pasukannya lolos dengan tidak meninggalkan korban. Belanda menilai
bahwa kemenangan terhadap benteng Tabanio ini tidak ada artinya, kalau
diperhitungkan dengan jumlah sarana yang dikerahkan 15 buah meriam, dan
sejumlah senjata yang mengkilap, ternyata tidak berhasil melumpuhkan kekuatan
Demang Lehman.
Selanjutnya Demang Lehman memusatkan kekuatannya di benteng pertahanan Gunung Lawak di Tanah
Laut. Benteng itu terletak di atas bukit, di setiap sudut benteng dipersenjatai
dengan meriam. Pertempuran memperebutkan benteng ini terjadi pada tanggal 27 September
1859. Dalam pertempuran
yang sengit dan pasukan Demang Lehman mempertahankan benteng Gunung Lawak
dengan gagah berani, akhirnya mengorbankan lebih dari 100 gugur dalam
pertempuran ini. Belanda sangat bangga dengan kemenangannya ini sehingga
dilukiskannya sebagai salah satu pertempuran yang indah pada tahun 1859.
Kekalahan ini tidak melemahkan semangat pasukan Demang Lehman, sebab mereka
yakin bahwa berperang melawan Belanda adalah perang sabil, dan mati dalam
perang adalah mati syahid. Bahkan pasukan yang dipimpin Kolonel
Augustus Johannes Andresen banyak korban
dalam perjalanan naik perahu ketika menuju ke Banjarmasin, bahkan A.J. Andresen
sendiri hampir tewas dalam serangan mendadak ini.
Pada akhir tahun 1859 medan pertempuran terpencar dalam 3 lokasi, yaitu di
sekitar Banua Lima,
sekitar Martapura dan Tanah Laut dan di sepanjang Sungai Barito. Medan
pertempuran di sekitar Banua Lima dibawah pimpinan Tumenggung Jalil Kiai
Adipati Anom Dinding Raja, medan yang kedua dibawah pimpinan Demang Lehman,
sedangkan medan ketiga dibawah pimpinan Pangeran Antasari.
Pada bulan September 1859 Demang Lehman, bersama pimpinan lainnya seperti Pangeran
Muhammad Aminullah, Tumenggung Jalil berangkat menuju Kandangan untuk
merundingkan bentuk perlawanan terhadap Belanda dan sikap serta siasat yang
ditempuh selanjutnya. Pertemuan ini dihadiri oleh tokoh-tokoh pejuang dari
segala pelosok. Dari pertemuan itu menghasilkan kesepakatan, bahwa
pimpinan-pimpinan perang menolak tawaran Belanda untuk berunding. Pertemuan
menghasilkan pula bentuk perlawanan yang terarah dan meluas dengan cara :
- Pemusatan kekuatan di daerah Amuntai.
- Membuat dan memperkuat pertahanan di daerah Tanah Laut, Martapura, Rantau dan Kandangan.
- Pangeran Antasari memperkuat pertahanan di wilayah Dusun Atas.
- Mengusahakan tambahan senjata.
Suatu sikap yang keras telah diambil bahwa para pejuang tersebut bersumpah
mengusir penjajah Belanda dari bumi Banjar. Mereka akan berjuang tanpa kompromi
Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing, berjuang sampai titik darah yang
penghabisan.
· Panglima Bukhari
Panglima Bukhari (lahir di Hantarukung, Simpur, tahun 1850 – meninggal di Simpur, (sekarang wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Indonesia)
19 September
1899 pada umur 49 tahun)
adalah seorang Panglima Perang Banjar yang memimpin perlawanan rakyat
yang disebut Amuk Hantarukung yang terjadi pada masa Sultan Muhammad
Seman bin Pangeran Antasari.
Ayah Bukhari bernama Manggir dan ibu bernama Bariah kelahiran Kampung
Hantarukung, dalam wilayah Kecamatan Simpur, Kabupaten Hulu Sungai Selatan,
Kalimantan Selatan. Bukhari dilahirkan sekitar tahun 1850 dan semasa mudanya
mengembara ke Puruk Cahu (Murung Raya,
Kalimantan Tengah) mengikuti pamannya Kasim
yang menjadi panakawan (ajudan) dari Sultan Muhammad Seman. Sejak itu
Sultan Muhammad Seman menjadikan Bukhari sebagai panakawan (ajudan)
Sultan, dan Bukhari ikut berjuang di daerah Puruk Cahu, Barito Hulu.
Bukhari seorang yang setia mengabdikan dirinya. Ia orang yang dipercaya
sebagai Pemayung Sultan. Ia dikenal di kalangan istana sebagai seorang
yang mempunyai ilmu kesaktian dan kekebalan. Bahkan tersiar berita bahwa dengan
ilmunya itu kalau ia tewas dapat hidup kembali. Ilmu ini diajarkan kepada siapa
yang menjadi pendukungnya. Adanya kelebihan-kelebihan Bukhari tersebut,
menyebabkan dia dan adiknya bernama Santar mendapat tugas untuk menyusun dan
memperkuat barisan perlawanan rakyat terhadap Belanda di daerah Banua Lima.
Dengan membawa surat resmi dari Sultan Muhammad
Seman, Bukhari dan adiknya Santar datang ke Kampung Hantarukung
untuk menyusun suatu pemberontakan rakyat terhadap pemerintah Belanda.
Kedatangan Bukhari diterima hangat oleh penduduk Kampung Hantarukung. Dengan
bantuan Pangerak Yuya (pangerak = kepala dusun/ketua RW), Bukhari
berhasil mengorganisir kekuatan rakyat untuk melawan Belanda. Sebanyak 25 orang
penduduk telah menyatakan diri sebagai pengikutnya, dan di bawah pimpinan
Bukhari dan Santar siap untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda.
Gerakan Bukhari ini bahkan kemudian mendapat dukungan selain penduduk Kampung
Hantarukung, juga penduduk Kampung Amparaya dan Kampung Ulin. Sehubungan dengan
itu alasan perlawanan yang dikemukakan bahwa penduduk dari tiga kampung itu
tidak bersedia lagi melakukan kerja rodi. Sikap penduduk dan tindakan Pangerak
Yuya yang tidak mau menurunkan kuli (penduduk) untuk menggali garis antara Amandit-Negara
tersebut, kemudian dilaporkan oleh Pambakal Imat (pambakal = kepala
desa) kepada Kiai
(gelar kepala distrik), karena yang bersangkutan sedang tidak ada di tempat,
Pambakal melaporkan kepada Controleur Belanda di kota Kandangan.
Penguasa Belanda di Kandangan sangat marah mendengar berita itu sehingga
pada tanggal 18 September 1899 berangkatlah rombongan penguasa Belanda yang
terdiri dari Controleur Adsenarpont Domes dan Adspirant K. Wehonleschen beserta
5 orang Indonesia (opas dan pambakal) yang setia kepada Belanda. Dengan menaiki
kereta
kuda dan diikuti yang lainnya Controleur Adsenerpont Domes ke desa Hantarukung
menemui Pangerak Yuya. Pangerak yang telah bekerja sama dengan Bukhari untuk
melawan pemerintah Belanda ini ketika dipanggil oleh Controleur keluar dari
rumahnya dengan tombak dan parang tanpa sarung. Setelah terjadi tanya jawab
mengenai mengapa penduduk tidak mengerjakan lagi gerakan menggali garis
Amandit-Negara, tiba-tiba muncul ratusan penduduk di bawah pimpinan Bukhari dan
Santar sambil mengucapkan shalawat nabi maju ke arah
Controleur dengan senjata tombak, serapang (trisula)
dan lain-lainnya.
Dalam peristiwa itu telah terbunuh tuan Controleur Domes dan Adspirant
Wehonleshen serta seorang anak emasnya. Sementara 4 orang lainnya dapat
melarikan diri. Mereka itu antara lain opas Dalau dan Kiai Negara (kepala
Distrik Negara). Peristiwa tanggal 18 September 1899 ini terkenal dengan
Pemberontakan Amuk Hantarukung yang dipelopori oleh Bukhari, seorang yang
secara resmi diperintahkan oleh Sultan Muhammad Seman dengan mengirimkan ke
desa asal kelahirannya Hantarukung.
Peristiwa 18 September 1899 dengan terbunuhnya Controleur dan Adspirant
Belanda segera sampai kepada pejabat-pejabat Belanda di kota Kandangan.
Kemarahan pihak Belanda tidak dapat terbendung lagi. Besok harinya pada hari
Senin tanggal 19 September 1899 sekitar pukul 13.00 siang hari pasukan Belanda
datang untuk mengadakan pembalasan terhadap penduduk. Serangan pembalasan
tersebut dipimpin oleh Kiai Jamjam putera daerah sendiri, dengan diperkuat oleh
2 Kompi serdadu Belanda bersenjata lengkap. Penduduk desa Hantarukung telah
menyadari pula peristiwa yang akan terjadi. Beratus-ratus penduduk di bawah
pimpinan Bukhari, Santar dan Pengerak Yuya siap dengan senjata mereka di
pinggiran hutan dan keliling danau menanti kedatangan pasukan Belanda. Ketika
sampai di desa Hantarukung di suatu awang persawahan, melihat keadaan
sepi, Kapten
Belanda melepaskan tembakan peringatan agar penduduk menyerah. Pada waktu
itulah Bukhari bersama-sama Haji Matamin dan Landuk tampil dengan senjata
terhunus maju menyerbu musuh sambil mengucapkan Allahu Akbar berulang-ulang.
Tindakan Bukhari tersebut diikuti para pengikutnya yang sudah siap untuk
berperang, pertempuran sengit terjadi. Bukhari, Haji Matamin dan Landuk dan
Pengerak Yuya gugur di tembus peluru Belanda. Melihat pemimpin-pemimpin mereka terbunuh
penduduk lari menyelamatkan diri. Dalam peristiwa 2 hari di Hantarukung
tersebut telah terbunuh masing-masing di pihak Belanda adalah Controleur Domes,
Adspirant Wehonleschen dan seorang pembantunya. Sementara dari pihak penduduk
telah gugur antara lain Bukhari, Haji Matamin, Landuk, Pangerak Yuya.
Peristiwa ini berlanjut dengan terjadinya pembersihan secara kejam oleh
Belanda terhadap penduduk yang terlibat terutama penduduk di desa Hantarukung,
Hamparaya, Ulin, Wasah Hilir dan Simpur. Penangkapan segera dijalankan oleh
militer Belanda. Mereka yang ditangkapi tersebut berjumlah 23 orang
yakni : Hala, Hair, Bain, Idir, Sahintul, H. Sanadin, Fakih, Unin,
Mayasin, Atma, Alas, Tanang, Tasin, Bulat, Sudin, Matasin, Yasin, Usin, Sahinin,
Unan, Saal, Lasan dan Atmin. Selanjutnya yang mati di dalam penjara
adalah : Hala, Hair, Bain, dan Idir. Sedangkan yang mati digantung
adalah : Sahitul, H. Sanaddin, Fakih, Unin, Mayasin, Atma, Alas, Tanang
dan Tasin. Mereka yang dibuang keluar daerah adalah: Bulat, Suddin, Matasin,
Yasin, Sahinin, Unan, Saal, Lasan, Atnin, dan Santar. Jenazah
Bukhari, Landuk dan Matamin dimakamkan di Kampung Perincahan, Kecamatan Kandangan yang dikenal
dengan makam Tumpang Talu. Sedangkan sembilan orang yang dihukum gantung oleh
Belanda tersebut dimakamkan di kuburan Bawah Tandui di Kampung Hantarukung,
Kecamatan Simpur.
Peristiwa ini berlanjut dengan terjadinya pembersihan secara kejam oleh
Belanda terhadap penduduk yang terlibat terutama penduduk di desa Hantarukung,
Amparaya, Ulin, Wasah Hilir dan Simpur. Penangkapan segera
dijalankan oleh militer Belanda. Mereka yang ditangkapi tersebut berjumlah 23
orang yakni Hala, Hair, Bain, Idir, Sahintul,
H. Sanadin, Fakih, Unin, Mayasin, Atma, Alas,
Tanang, Tasin, Bulat, Sudin, Matasin, Yasin,
Usin, Sahinin, Unan, Saal, Lasan dan Atmin
Jenazah Bukhari, Landuk, dan Matamin dimakamkan di Kampung Parincahan,
Kecamatan Kandangan, Hulu Sungai Selatan
yang dikenal dengan makam Tumpang Talu. Sedangkan sembilan orang dihukum
gantung oleh Belanda tersebut dimakamkan di kuburan Bawah Tandui di Kampung
Hantarukung, Kecamatan Simpur..
· Pangeran Hidayatullah
Sultan Hidayatullah Khalilullah bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman,
atau Hidayatullah II (lahir di Martapura,1822 – meninggal di Cianjur,
Jawa Barat,
24 November
1904 pada umur 82 tahun)
adalah salah seorang pemimpin Perang Banjar
dan berkat jasa-jasa kepada bangsa dan negara, pada tahun 1999 pemerintah
Republik Indonesia telah menganugerahkan Bintang
Mahaputera Utama.
Beliau diangkat langsung oleh Sultan Adam
menjadi Sultan Banjar untuk meneruskan pemerintahan kesultanan
Banjar menggantikan sang kakek (Sultan Adam). Hidayatullah menjadi satu-satunya
pemimpin rakyat Banjar antara tahun 1859 sampai 1862 pasca Hindia Belanda memakzulkan abang tirinya
Tamjidullah II sebagai Sultan Banjar versi Belanda pada 25 Juni
1859. Walaupun menurut surat wasiat
Sultan Adam ia ditetapkan sebagai Sultan Banjar penggantinya kelak,
tetapi masih banyak rintangan yang menghalanginya, oleh Belanda ia hanya
mendapat posisi mangkubumi sejak 9 Oktober
1856. Langkahnya sebagai
pengganti Sultan Adam menjadi lebih terbuka pada pada Februari
1859, Nyai Ratu Komala
Sari (permaisuri almarhum Sultan Adam) beserta puteri-puterinya, telah
menyerahkan surat kepada Pangeran Hidayat, bahwa kesultanan Banjar diserahkan
kepadanya, sesuai dengan surat wasiat Sultan Adam. Sebelumnya Nyai Ratu Komala
Sari sempat mengusulkan satu-satunya puteranya yang masih hidup yaitu Pangeran
Prabu Anom sebagai pengganti Sultan Adam. Selanjutnya Pangeran Hidayat
mengadakan rapat-rapat untuk menyusun kekuatan dan pada bulan September
1859, Pangeran
Hidayatullah II dinobatkan oleh para panglima sebagai Sultan Banjar dan sebagai
mangkubumi adalah Pangeran Wira Kasuma, putera Pangeran Ratu Sultan Muda Abdur
Rahman dengan Nyai Alimah.
Ayah beliau adalah Pangeran Ratu Sultan Muda
Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq
Billah, sedangkan ibu beliau adalah Ratu Siti binti Pangeran Mangkubumi Nata
yang juga bangsawan keraton Banjar (golongan tutus/purih raja). Pangeran
Hidayatullah mewarisi darah biru keraton Banjar (berdarah kasuma alias
ningrat murni) dari kedua orangtuanya, karenanya menurut adat keraton sebagai
kandidat utama sebagai Sultan Banjar dibandingkan Pangeran Tamjidullah II yang
berasal dari isteri selir (Nyai) yang bukan tutus (bangsawan keraton Banjar).
Kandidat yang lain (yang diusulkan permaisuri Sultan Adam) adalah Pangeran
Prabu Anom putera almarhum Sultan Adam dengan Nyai Ratu Komalasari, pangeran
ini diasingkan Belanda ke Jawa dengan surat yang ditandatangani oleh Sultan
Tamjidullah II, sehari setelah pengangkatannya oleh Belanda menjadi Sultan
Banjar. Peristiwa diasingkannya Pangeran Prabu Anom / paman Sultan Hidayatullah
dan pengasingan Pangeran Tamjidillah membuat geram Sultan Hidayatullah dan
bangsawan lainnya. Campur tangan Belanda dalam pengangkatan Sultan Banjar
berkaitan status Kesultanan Banjar yang menjadi tanah pinjaman (daerah
protektorat) dari VOC-Belanda sejak 13 Agustus
1787 di masa Tahmidullah
II.
Pangeran Hidayatullah adalah Sultan Banjar
yang dengan tipu muslihat Penjajah Belanda ditangkap dan kemudian diasingkan
bersama dengan anggota keluarga dan pengiringnya ke Cianjur.
Di sana beliau tinggal dalam suatu pemukiman yang sekarang dinamakan Kampung
Banjar/Gang Banjar. Sultan Hidayatullah wafat dan dimakamkan di Cianjur.
Sultan Hidayatullah pada tahun 1999 mendapat Bintang kenegaraan dari pemerintah
RI.
Pada 30 April
1856, Pangeran
Hidayatullah menandatangani persetujuan pemberian konsesi tambang batu bara
kepada Hindia Belanda karena pengangkatannya sebagai Mangkubumi Kesultanan
Banjar yang sebelumnya didiskusikan terlebih dahulu dengan kakeknya Sultan
Adam.
Pada 9 Oktober
1856, Hindia Belanda
mengangkat Hidayatullah sebagai mangkubumi
untuk meredam pergolakan di Kesultanan Banjar atas tersingkirnya Pangeran
Hidayatullah yang didukung oleh kaum ulama dan bangsawan keraton sebagai Sultan Muda.
Pada 18 April
1859 terjadi Penyerangan
terhadap tambang batu bara Oranje Nassau milik Hindia Belanda dipimpin oleh
Pangeran Antasari,
Pembekal Ali Akbar, Mantri Temeng Yuda Panakawan atas persetujuan Sultan
Hidayatulah .
Pada 25 Juni
1859, Hindia Belanda
memakzulkan Tamjidullah sebagai Sultan Banjar
oleh Kolonel A.J. Andresen untuk memulihkan keadaan. Dengan
Siasat menempatkan Sultan Hidayatullah sebagai Sultan Banjar dan menurunkan
Pangeran Tamjidullah karena Belanda menilai penyerangan tambang batubara mereka
berkaitan dengan kekuasaan di Kesultanan Banjar. Sultan Hidayatulllah dinilai
sebagai tokoh penting dalam penyerbuan ke tambang batubara Pengaron,
sehingga harus dijinakkan dengan menempatkan Sultan pada posisinya sesuai surat
wasiat Sultan Adam. Akan tetapi pengangkatan oleh Belanda ini ditolak
mentah-mentah dan didukung oleh seluruh Bangsawan maupun rakyatnya.
Pada 5 Februari 1860 Belanda mengumumkan bahwa jabatan Mangkubumi Pangeran
Hidayat dihapuskan. Selanjutnya pada tanggal 11 Juni
1860, Residen I.N. Nieuwen
Huyzen mengumumkan penghapusan Kesultanan Banjar.
Pada 10 Desember 1860, Pangeran Hidayatullah melantik Gamar dengan
gelar Tumenggung Cakra Yuda untuk mengadakan perang Sabil terhadap
Belanda.
Dalam bulan Juni
1861 Sultan Hidayatullah
berada di Gunung Pamaton (Kabupaten Banjar). Rakyat
Gunung Pamaton menyambut kedatangan Sultan Hidayatullah dan rakyat membuat
benteng pertahanan sebagai usaha mencegah serangan Belanda yang akan
menangkapnya. Sementara itu Sultan Hidayatullah berunding dengan Mufti di Martapura.
Perundingan pertama diadakan di Kalampayan dan yang kedua di kampung Dalam Pagar. Dalam
perundingan itu disepakati rencana akan melakukan serangan umum terhadap kota
Martapura. Para penghulu dan alim ulama akan mengerahkan seluruh rakyat
melakukan jihad perang sambil mengusir Belanda dari bumi Banjar.
Serangan umum ini direncanakan dilakukan pada tanggal 20 Juni 1861, tetapi
rencana itu bocor ke tangan Belanda. Oleh karena itu sebelum tanggal 20 Juni
Belanda secara tiba-tiba menyerang benteng Gunung Pamaton tempat pertahanan
Sultan Hidayatullah. Serangan Belanda itu dapat digagalkan dengan banyak membawa
korban di pihak Belanda. Sementara itu di kampung Kiram, tidak jauh dari Gunung
Pamaton dan di daerah Banyu Irang, Pambakal Intal dan pasukan Tumenggung Gumar
telah berhasil menghancurkan kekuatan Kopral Neyeelie. Mayat-mayat pasukan
Belanda ini dihanyutkan di sungai Pasiraman. Pambakal Intal berhasil menguasai
senjata serdadu Belanda ini.
Untuk menghadapi serangan umum terhadap Martapura ini Assisten Residen
Mayor Koch yang merangkap menjadi Panglima di daerah Martapura meminta bantuan
kepada Residen
Gustave Verspijck di Banjarmasin.
Residen segera mengirimkan bantuan dengan mengirimkan kapal perang Van Os
yang mengangkut meriam dan perlengkapan perang lainnya. Serangan selanjutnya
dilakukan oleh Mayor Koch secara besar-besaran terhadap benteng Gunung Pamaton,
mendahului rencana serangan umum terhadap Martapura oleh rakyat yang bocor ke
pihak Belanda. Rakyat seluruh daerah Martapura dan sekitarnya bangkit melakukan
serangan sehingga hampir di seluruh pelosok terjadi pertempuran. Pertempuran
terjadi pula di Kuala Tambangan.
Tumenggung Gamar yang akan membawa pasukannya memasuki kota Martapura ternyata
tidak berhasil, karena Belanda telah mempersiapkan pertahanan yang lebih kuat.
Pambakal Mail terlibat perang menghadapi serdadu Belanda di sekitar daerah Mataraman,
sementara di Gunung Pamaton pertempuran terus berkobar. Pasukan Belanda bukan
saja menyerang benteng Gunung Pamaton yang belum berhasil dikuasainya, tetapi
juga membakar rumah-rumah penduduk yang tidak berdosa. Membinasakan kebun-kebun
dan menangkapi penduduk, sehingga penjara Martapura penuh sesak. Dalam pertempuran
di Gunung Pamaton tersebut banyak sekali jatuh korban di kedua belah pihak.
Letnan Ter Dwerde dan Kopral Grimm tewas kena tombak dan
tusukan keris
di perutnya.
Serangan bulan Juni
1861 terhadap benteng
Gunung Pamaton berhasil digagalkan oleh rakyat yang hanya memiliki persenjataan
sederhana. Memang benteng Gunung Pamaton saat itu dipertahankan oleh pimpinan
perang yang gagah berani, selain Sultan Hidayatullah terdapat pula Demang Lehman,
Tumenggung Gamar, Raksapati, Kiai Puspa Yuda Negara. Selain itu terdapat pula
pahlawan wanita Kiai Cakrawati yang selalu menunggang kuda yang sebelumnya ikut
mempertahankan Benteng Gunung Madang, dan saat itu ikut mempertahankan Benteng
Gunung Pamaton.
Dalam bulan Agustus
1861 Mayor Koch sekali
lagi mengerahkan pasukannya menyerbu Gunung Pamaton. Sebelum serangan
dilakukan. Mayor Koch menghancurkan semua ladang, lumbung padi rakyat,
hutan-hutan, dengan harapan menghancurkan persediaan bahan makanan, dan
menghancurkan hutan-hutan yang dapat dijadikan benteng pertahanan. Mayor Koch
gagal dalam usahanya untuk menangkap Sultan Hidayatullah dan pimpinan perang
lainnya, karena sebelumnya benteng ini telah ditinggalkan, karena rakyat
menggunakan siasat gerilya dalam usaha melawan Belanda yang memiliki
persenjataan yang lebih baik. Perang gerilya adalah salah satu siasat untuk
mengantisipasi musuh yang memiliki persenjataan yang lebih unggul.
Setelah ditipu dengan terlebih dahulu menyandera ibunya, Sultan
Hidayatullah pada 2 Maret
1862 dibawa dari Martapura
dan diasingkan ke Cianjur.
- · Penghulu Rasyid
Penghulu Rasyid (lahir di desa Telaga Itar tahun 1815 – meninggal di
desa Banua Lawas, 15 Desember
1861 pada umur 46
tahun) adalah salah seorang di antara sejumlah ulama Islam yang bangkit
bergerak berjuang mengangkat senjata melawan penjajah Belanda dalam Perang
Banjar. Ayah dari Penghulu Rasyid bernama Ma’ali adalah penduduk kampung
Telaga Itar. Rasyid diperkirakan lahir sekitar tahun 1815. Pada waktu
terjadi Perang Banjar dan perjuangan yang menghangat di
seluruh wilayah Banua Lima tahun 1860 sampai tahun 1865, Rasyid berumur 45 tahun. Sejak kecil ia
mempunyai ciri-ciri kepemimpinan dan mempunyai kepribadian yang tinggi. Dengan
pengetahuan agama Islam yang dimilikinya disertai dengan amaliah yang kuat,
Rasyid pun dijadikan sebagai pemimpin agama dengan sebutan Penghulu.
Selanjutnya ia lantas dikenal sebagai Penghulu Rasyid.
Sebagai seorang pimpinan agama, Penghulu Rasyid tergerak jiwa
patriotismenya untuk membela negara Kesultanan
Banjar yang dijajah Belanda. Penghulu Rasyid dan para ulama lainnya
mengorbankan semangat juang, sebagai gerakan Baratib Baamal. Gerakan Baratib
Baamal ini meliputi hampir seluruh Banua Lima
dengan pusat kegiatan di masjid dan langgar (surau).
Gerakan/Jamaah zikir Baratib Baamal pimpinan Penghulu Abdul Rasyid dan Haji
Bador di Banua Lawas pertama kali terlibat dalam pertempuran menghadapi serdadu
Belanda di Habang pada tanggal 8 Oktober 1861, pertempuran kedua di
Krimiang dan yang ketiga pada tanggal 18 Oktober
1861 di Banua Lawas. Anak
buah Haji Bador di Banua Lawas memusatkan kekuatannya di Masjid, jumlah ratusan orang. Sambil
mengucapkan zikir dan parang di tangan mereka maju meyerbu sardadu Belanda
tanpa ragu dan penuh keberanian. Setelah terjadi perang bergumul dan berhasil
menewaskan 3 orang serdadu Belanda, Kapten Thelen mundur ke Kelua dan minta
bantuan serdadu Belanda di Amuntai. Serdadu dari Amuntai datang menyerbu,
tetapi setelah sampai di masjid Kelua,
serdadu Belanda mendapat serangan gencar dengan tembakan senapan dan lila dari
pengikut Haji Bador. Besok harinya terjadi lagi pertempuran di Banua Lawas.
Pertempuran sengit ini mengakibatkan banyak jatuh korban. Tidak kurang dari 160
orang pengikut Haji Bador di antaranya tewas sebagai syuhada.
Pertempuran terakhir di Banua Lawas terjadi pada 15 Desember
1865. Belanda mengepung
Pasar Arba Banua Lawas dengan menggunakan kapal perang Van Os melalui Sungai Anyar. Serdadu dari
Amuntai
mengepung dari segala penjuru. Belanda menggunakan segala cara untuk
menaklukkan dan melumpuhkan perjuangan Penghulu Abdul Rasyid. Di antara cara
itu adalah dengan mendatangkan pasukan Dayak Maanyan
dari Tamiang Layang dibawah pimpinan Tumenggung
Jailan yang bergelar Tumenggung Jaya Karti.
Tumenggung Jailan ini terkenal berani seperti juga Suta Ono yang berjasa
membantu Belanda untuk melumpuhkan perjuangan Pangeran
Antasari.
Taktik lain adalah dengan memberi pengumumam kepada barang siapa yang berhasil memotong kepala Penghulu Abdul Rasyid dengan imbalan hadiah f 1.000,- disamping pembebasan pajak 7 turunan. Kubu pertahanan Penghulu Abdul Rasyid dibumi hanguskan oleh Belanda. Banyak sekali korban berjatuhan gugur sebagai kesuma bangsa menjadi syuhada. Penghulu Abdul Rasyid tumitnya kena tembak sehingga dia terpaksa menghindarkan diri dari medan pertempuran. Dalam persembunyiannya dia masih sempat membunuh beberapa orang serdadu Belanda dan pengikutnya yang tersesat. Tergiur hadiah ƒ 1.000,- dan pembebasan pajak semalam 7 turunan, teman seperjuangan dan keluarganya sendiri Teja Kusuma mengkhianati perjuangan bangsanya dan memenggal kepala Penghulu Abdul Rasyid yang sudah tidak berdaya lagi. Puteri dari Penghulu Abdul Rasyid sendiri membela kematian ayahnya dan berhasil menembak mati Teja Kusuma sehingga berhasil merebut kepala ayahnya yang hanya kepalanya saja. Tetapi setelah kepala tersebut diambilnya, dia pingsan melihat ayahnya yang hanya kepalanya saja. Akhirnya kepala Penghulu Abdul Rasyid tersebut berhasil direbut oleh orang-orang yang menginginkan hadiah ƒ 1.000,- dan menyerahkannya kepada Belanda. Jenazah Penghulu Abdul Rasyid dimakamkan tanpa kepala di dekat Masjid Pasar Arba. Masjid ini termasuk yang tertua dan didirikan oleh Penghulu Abdul Rasyid semasa hidupnya bersama 4 orang tokoh masyarakat saat itu masing-masing bernama Datuk Seri Panji, Datuk Langlang Buana dan Datuk Sari Negara.
· Ratu Zulaha
Ratu Zaleha (lahir: Muara Lawung, 1880; wafat:Banjarmasin 24 September 1953[2])adalah
puteri dari Sultan Muhammad Seman bin Pangeran
Antasari yang gigih berjuang mengusir Belanda dalam Perang Banjar
melanjutkan perjuangan Pangeran Antasari. Ratu Zaleha berjuang bersama
wanita-wanita suku Dayak yang sudah memeluk Islam seperti
Bulan Jihad atau Wulan Djihad[5],
Illen Masidah dan lain-lain. Ratu Zaleha merupakan tokoh emansipasi wanita di Kalimantan.
Gugurnya Sultan Muhammad Seman dan jatuhnya benteng pertahanan Manawing, tertangkapnya
Panglima
Batur pada tahun 1905, maka Perang Banjar yang dimulai dengan penyerangan
terhadap benteng
dan pertambangan
batu bara
Oranje Nassau di Pengaron, Banjar tahun 1859, dinyatakan berakhir
pada tahun 1905.
Tokoh-tokoh pejuang yang tetap bertahan tidak mau menyerah akhirnya
terpaksa menyerah, mereka dibuang keluar dari bumi bekas Kesultanan
Banjar sebagai tawanan perang hidup dalam pengasingan sampai hayat
mereka berakhir. Salah satu diantaranya adalah Gusti Muhammad Arsyad, menantu
Sultan Muhammad Seman. Gusti Muhammad Arsyad dibuang ke Buitenzorg
(sekarang Kota Bogor)
pada tanggal 1 Agustus
1904.
Gusti Muhammad Arsyad dan isterinya Ratu Zaleha, puteri dari Sultan
Muhammad Seman berjuang bersama ayahnya dengan penuh keberanian. Setelah benteng Manawing
jatuh ia bersembunyi ke Lahei dan selanjutnya ke Mia di tepi Sungai Teweh yang dianggap
mereka aman dari pengejaran Belanda. Suaminya Gusti Muhammad Arsyad setahun
sebelum benteng Manawing jatuh telah menyerah kepada Belanda karena pengepungan
yang menyebabkan ia tidak dapat melarikan diri lagi. Karena selalu
dikejar-kejar oleh serdadu Belanda.
Gusti Zaleha atau Ratu Zaleha merasa sangat letih disamping fisiknya juga
tidak mengijinkannya lagi, akhirnya dia pada awal tahun 1906 menyerahkan diri
kepada Belanda. Atas permintaannya Ratu Zaleha mengikuti suaminya dalam
pengasingan di Bogor menghabiskan sisa-sisa usianya. Ratu Zaleha diikuti oleh
ibunya Nyai Salamah.
Keluarga Ratu Zaleha sebagai kelompok Pagustian
dianggap berbahaya untuk wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah.
Sebagai orang tawanan Gusti Muhammad Arsyad mendapat tunjangan sebesar f300, perbulan terhitung
sejak 1 Mei
1906 sedangkan isterinya
Ratu Zaleha mendapat f125, sebagai tambahan untuk memelihara 7 orang anggota
keluarganya. Tunjangan ini berdasarkan surat Sekretaris Goebernemen 25 Juli
1906 no. 1198 yang
ditujukan kepada Ekslensi Gubernur Jenderal Hindia-Belanda,
dan Asisten Residen Bogor.
Dimasa tuanya sang Ratu kembali ke kampung halamannya setelah sekian tahun
berada di pembuangan dan meninggal pada tanggal 23 September 1953 dan kemudian
dimakamkan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Nama Ratu Zaleha diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Daerah di kota Martapura,
Kabupaten
Banjar.
- · Muhammad Seman
Sultan Muhammad Seman adalah Sultan Banjar dalam pemerintahan pada masa
1862—1905 (versi lain 1875-1905).[1]
Nama lahirnya
Gusti Matseman. Ia adalah putra dari Pangeran
Antasari
yang disebut Pagustian
(Kesultanan Banjar yang Baru) sebagai penerus Kesultanan
Banjar yang telah dihapuskan Belanda. Di zaman Sultan Muhammad
Seman, pemerintahan Banjar berada di Muara Teweh, di hulu sungai Barito. Sultan
Muhammad Seman merupakan anak dari Pangeran Antasari dengan Nyai Fatimah. Nyai
Fatimah adalah saudara perempuan dari Tumenggung Surapati, panglima Dayak (Siang) dalam Perang Barito.
Jadi sultan ini masih ada keturunan Dayak dari pihak ibunya.
Pada tahun 1888, Sultan Muhammad Seman mendirikan sebuah masjid di Baras
Kuning yang sedianya akan menjadi tempat gerakan Beratib Beramal.[2]
Sultan Muhammad Seman meneruskan perjuangan mengusir penjajah Belanda dari
tanah Banjar. Sultan beserta pejuang lainnya seperti Tumenggung Surapati,
Panglima Batur, Panglima Bukhari, dan beberapa pejuang lainnya terus menggempur
pertahanan Belanda di daerah Muara Teweh, Buntok, Tanjung, Balangan, Amuntai,
Kandangan, dan di sepanjang sungai Barito. Pada pertempuran di Benteng Baras
Kuning, Sultan Muhammad Seman gugur sebagai syuhada, setelah mempertahankan
benteng dari serbuan Belanda. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 24 Januari
1905.[3][4]
Sultan Muhammad Seman sangat dekat kekerabatan dengan Suku Dayak Murung.
Ini karena ibu beliau, Nyai Fatimah, berasal dari suku Dayak Murung, yang tidak
lain adalah saudara dari Tumenggung Surapati. Muhammad Seman juga mengawini dua
puteri Dayak dari Suku Dayak Ot Danum. Puteranya, Gusti Berakit,
ketika tahun 1906 juga mengawini putri kepala suku Dayak yang tinggal di tepi
sungai Tabalong. Sebagai wujud toleransi yang tinggi, ketika mertuanya
meninggal, Sultan Muhammad Seman memprakarsai diselenggarakannya tiwah, yaitu upacara
pemakaman secara adat Dayak (Kaharingan).
Dengan gugurnya Sultan Muhammad Seman, maka pejuang-pejuan dalam Perang
Banjar semakin berkurang dab melemah. Sehingga sejarah mencatat bahwa Perang
Banjar berakhir ketika gugurnya Sultan Muhammad Seman. Sepeninggal Sultan
Muhammad Seman, perjuangan dilanjutkan oleh putri dan menantu beliau, yaitu
Ratu Zaleha dan Gusti Muhammad Said, beserta sisa-sisa pasukan yang masih setia
dengan perjuangan rakyat Banjar.
Makam Sultan Muhammad Seman terdapat pada sebuah perbukitan yang dinamakan
Gunung Sultan di tengah kota Puruk Cahu ibukota Kabupaten Murung Raya, provinsi Kalimantan
Tengah, Indonesia.
- · Tagap Obang
Tagab Obang adalah seorang tokoh pejuang perlawanan rakyat terhadap
kekuasaan Belanda dalam Perang Banjar di daerah
Margasari (Kabupaten Tapin) Kalimantan Selatan.
Pada saat itu sedang memuncaknya perlawanan rakyat Banjar. Seluruh wilayah
Kesultanan Banjar bergolak melawan Belanda. Belanda kemudian mengeluarkan pengumuman
penghapusan Kesultanan Banjar tertanggal 11 Juni
1860 yang ditanda tangani
oleh Residen Surakarta Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen
yang merangkap Komisaris Pemerintahan Belanda untuk Afdeling Selatan dan Timur
Borneo. Sejak itu Belanda seolah-olah menyelesaikan persoalan dalam negerinya
sendiri bukan berhadapan dengan suatu bangsa yang berperang mengembalikan
kemerdekaan bangsanya. Sejak itu Belanda mulai mengatur aparat pemerintahannya
di daerah-daerah Kesultanan Banjar.
Daerah-daerah yang telah dikuasai Belanda ditetapkan Kepala-Kepala Distrik
baru. Salah satu distrik yang baru dikuasai itu adalah di distrik
Margasari. Kepala Distrik Margasari waktu itu ialah Kiai Jaya Di
Pura. Kiai (wedana) ini banyak membantu perjuangan rakyat dengan cara membantu
bahan makanan dan juga informasi tentang aktivitas serdadu Belanda.
Akhirnya sikap Kiai Jaya Di Pura yang pro perjuangan rakyat ini diketahui
Belanda sehingga dia diganti sebagai Kiai (wedana) dengan Kiai baru yang mempunyai loyalitas tinggi
terhadap Belanda. Pada tanggal 14 Desember
1861 dilakukan timbang
terima jabatan Kiai Margasari dengan Kiai (wedana) baru Kiai
Sri Kedaton. Pada tanggal 14 Desember 1861 Controleur Fuijck datang ke daerah
Margasari dikawal 5 orang serdadu. Pada malam hari tanggal 16 Desember
1861, Controleur Fuijck
dan pengawalnya dibunuh dan rumahnya dibakar.
Mendengar berita yang menyedihkan ini Residen Gustave Marie Verspijck mengirim Letnan
Croes dengan 20 orang serdadu ke daerah Margasari. Letnan Croes mengejar
pembunuh dengan menggunakan 5 buah jukung (perahu) ke Sungai Jaya anak
Sungai Negara. Mereka berangkat pukul 11.00 siang. Para pejuang dibawah
pimpinan Tagab Obang sudah menunggu di sungai sempit itu. Letnan Croes disergap
para pejuang dengan cara tiba-tiba dan terjadilah pergumulan di dalam perahu
dan di sekitar sungai
sempit itu. Tiga jam kemudian perahu itu kembali dengan membawa mayat Letnan
Croes dan 14 orang serdadunya yang telah menjadi mayat, 8 orang diantaranya orang Eropa. Letnan Croes terkulai
tangannya kena parang bungkul dan kemudian ditombak dengan serapang
(trisula). Berita duka ini disampaikan kepada Residen Gustave
Verspijck yang sedang bergembira karena kemenangannya menghancurkan
perjuangan rakyat Banjar yang ketika itu berada di rumah Asisten Residen di
Martapura. Residen Verspijck segera kembali ke Banjarmasin
dan memerintahkan kapal perang Boni dan Celebes mengejar para pembunuh
tersebut.
- · Tumenggung Jalil
Nama lahirnya
Jalil, kemudian bergelar Tumenggung Macan Negara(nama populer Tumenggung
Jalil),, kemudian bergelar Kiai Adipati Anom Dinding Raja (lahir di Kampung Palimbangan, Hulu Sungai Utara tahun 1840 – meninggal di Benteng
Tundakan, Balangan tanggal 24 September 1861 pada umur 21 tahun)
adalah panglima perang dalam Perang Banjar
dengan basis pertahanan di Banua Lima, pedalaman Kalimantan Selatan. Jalil merupakan seorang jaba
(Banjar:
bukan berdarah bangsawan). Sejak kecil dia dikenal pemberani dan pendekar dalam ilmu silat. Pada waktu berusia
20 tahun dia terlibat dalam perlawanan terhadap Belanda di Desa Tanah Habang dan Lok Bangkai. Karena
kepahlawanannya dia dikenal sebagai Kaminting Pidakan (Banjar:
jagoan/jawara).
Jalil diberi gelar Tumenggung Macan Negara oleh Sultan Tamjidullah II, karena itulah ia
dikenal juga dengan sebutan Tumenggung Jalil. Kemudian Tumenggung Jalil memihak
kepada mangkubumi Pangeran Hidayatullah dan diberi gelar Kiai Adipati Anom Dinding Raja
oleh Pangeran Hidayatullah. Pada tahun 1859 Tumenggung Jalil
telah menyusun kekuatan di Banua Lima. Tumenggung Jalil membuat pos-pos
penjagaan di sekitar Babirik, Alabio
dan Sungai Banar. Di sekitar Masjid Amuntai didirikan benteng.
Di sungai
dibuat rintangan-rintangan sehingga mempersulit bagi kapal yang akan lewat.
Pada awal Februari
1860, Belanda mengerahkan
kapal-kapal perang Admiral van Kingsbergen dan kapal Bernet
dengan beberapa ratus serdadu dan pasukan meriam dipimpin oleh Mayor Gustave
Verspijck. Kapal perang itu akhirnya sampai di Alabio,
dan seterusnya terpaksa menggunakan kapal atau perahu yang lebih kecil karena
rintangan yang banyak di sungai. Pertempuran terjadi di sekitar Masjid Amuntai.
Dari masjid inilah keluar prajurit-prajurit rakyat yang tidak mengenal lelah
menyerbu dengan hanya bersenjatakan tombak, parang bungkul dan mandau dengan
meneriakkan Allahu Akbar menyerbu Belanda. Korban
berjatuhan dan perang berhadapanpun terjadi. Semangat membela agama dan berjuang melawan
orang kafir dan mati dalam
perang itu adalah semangat patriotisme yang tinggi yang mengisi dada setiap
rakyat yang bertempur melawan penjajah Belanda. Benteng di sekitar masjid
dipertahankan dengan kuat di bawah pimpinan Matia atau Mathiyassin, pembantu
utama Tumenggung Jalil dengan gagah berani mengamok menyerbu serdadu Belanda.
Beratus-ratus yang menjadi syuhada dalam pertempuran
itu, 44 orang di antaranya dimakamkan di Kaludan. Rumah-rumah
penduduk ikut menjadi korban terbakar serta kampung di sekitarnya menjadi saksi
kepahlawanan rakyat Amuntai mempertahankan agama. Di antara kampung yang musnah
adalah Kampung Karias, dan di antara
rumah penduduk yang musnah terdapat rumah Tumenggung Jalil. Di bekas benteng
yang hancur, dijadikan Belanda bivak, benteng baru terletak di pertemuan sungai Balangan dan sungai
Tabalong. Pertempuran ini terjadi pada 9 Februari
1860. Pasukan-pasukan Pangeran Hidayatullah yang tersebar di
sekitar Barabai bergabung dengan pasukan
Tumenggung Jalil dan dapat menahan gerakan serdadu Belanda di sekitar Pantai
Hambawang. Dalam pertempuran yang terjadi di Lampihong di antara serdadu
Belanda yang menjadi korban adalah Kapten De Jong. Pertempuran ini menyebabkan
serdadu Belanda mundur. Bantuan serdadu Belanda kemudian diangkut dengan kapal perang
Boni pada tanggal 15 Mei 1860
menuju dan memudiki sungai Tabalong. Sebelum mencapai daerah
Tabalong, serdadu Belanda menghadapi serbuan rakyat di sepanjang
sungai yang dilewati. Sesampai di daerah
Tabalong, terjadi pertempuran dengan pasukan Tumenggung Jalil.
Perlawanan rakyat cukup sengit menyebabkan serdadu Belanda terpaksa mundur ke daerah Kelua
dan Amuntai. Baru pada bulan Juni 1860 Belanda berhasil
menduduki daerah Tabalong. Serdadu Belanda menghadapi perlawanan dari pasukan
Pangeran Hidayatullah, pasukan Tumenggung Jalil dan pasukan Pangeran Antasari
dengan Tumenggung Surapati yang berpusat di Tanah Dusun.
Tumenggung Jalil kemudian membuat benteng di Batu Mandi dan dari benteng
ini dapat memutuskan hubungan serdadu Belanda antara Barabai dan Lampihong.
Benteng ini terletak di atas sebuah bukit dan di sekitarnya diberi rintangan-rintangan, seperti
parit-parit, lubang perangkap, tali jerat dan potongan pohon kayu besar yang
sewaktu-waktu dapat digulingkan dari atas bukit. Benteng ini dipercayakan
kepada Penghulu Mudin. Ketika serdadu Belanda menyerbu dan menaiki bukit yang
dijadikan benteng ini, banyak sekali korban dari pihak Belanda, karena jebak
(ranjau) yang dibuat. Di antara yang jatuh korban adalah pimpinan penyerbuan
ini Sersan van de Bosch. Karena gagal menaiki benteng tersebut, serdadu Belanda
menembaki benteng ini dengan meriam dari bawah. Sementara itu Pangeran Antasari
memperkuat benteng Tabalong. Pangeran Antasari menaikkan bendera di atas
benteng itu, yaitu bendera merah dengan dua buah keris bersilang. Benteng Batu Mandi dipersiapkan dengan
sungguh-sungguh oleh Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayatullah. Disamping itu
terdapat pula Pangeran Syarif Umar (ipar Pangeran Hidayatullah) dan Pangeran
Usman (kemenakan Pangeran Hidayatullah). Sedangkan Tumenggung Jalil
mempersiapkan pertahanan di sepanjang sungai Balangan. Sebelum sampai ke
benteng ini, terdapat kubu-kubu pertahanan di batang Balangan. Di daerah Batang Alai terdapat kekuatan dibawah
pimpinan Demang Jaya Negara Seman dan Kiai Jayapati. Pusat kekuatan telah
dibagi dan dipencar-pencar Pangeran Antasari tetap bertahan di sekitar Amuntai,
Kalua
dan Tabalong, sedangkan Jalil berada di pusat kekuatan di Pasimbi, yang
berusaha menghambat gerakan serdadu Belanda menuju Batu Mandi. Kubu-kubu
pertahanan Jalil selain di Pasimbi, juga terdapat di Lampihong,
Layap, Muara Pitap dan lain-lain.
Ketika serdadu Belanda sampai ke benteng Batu Mandi pada tanggal 13 Oktober
1860 ternyata benteng itu
telah dikosongi. Belanda sangat kecewa karena sebelum mencapai benteng Batu
Mandi, serdadu Belanda menghadapi perlawanan yang gencar dari segala pelosok,
ternyata benteng itu telah kosong.
Best Online Baccarat Casinos UK - FABCASINO
BalasHapusBaccarat is an exciting table game to play with and for 바카라 사이트 the best reason. Here's where to find the best หาเงินออนไลน์ online 인카지노 baccarat casinos UK 2021.